Musisi Jalanan


Ibukota negara. Siang itu terasa beda. Mentari bersinar lebih terik dari biasanya. Kendaraan memadat lalu lalang. Pribadi yang masih setia dengan keegoisannya. Keras kepala yang tak mampu melihat lingkungan sekitar. Klakson kendaraan saling sambut menyambut. Sesaknya jalanan seakan menekan titik batas kesabaran setiap individunya.


Tapi diantara keramaian tersebut, sekumpulan anak terlihat masih ceria. Musisi jalanan. Semangat yang takkan pernah padam. Dengan alat musik se-ala-kadarnya, ia berjuang melawan malu dan hidup. Seakan-akan mereka tak pernah kenal dengan kata lelah.

Seharusnya dalam usia dini mereka harus belajar dibangku sekolah. Namun semua sirna karena jeratan takdir mereka yang terlalu keras. Sekarang , semua yang mereka lakukan hanya demi kepingan logam itu.

Singkat cerita, ditaman kota, selepas kumandang adzan magrib, anak-anak itu duduk istirahat sembari bercanda dibawah pohon. Ditemani dengan gemerlap kota yang tetap padat. Ada yang sedang melihat kejalanan, menghitung kepingan logam dan membersihkan okulele-nya.    

Lewatlah seorang anak dan orang tua-nya dihadapan mereka.

“ Pa, papa, Adit mau masuk SD yang banyak mainannya yaa “

“ Ma, mama, kalo Adit udah SD Adit mau dibeliin tas, buku, pensil sama sepeda baru yaa “

 Manja anak itu kepada orang tua-nya seolah-olah menghentikan semua aktifitas yang sedang mereka kerjakan.

Mereka lalu saling melihat satu sama lain. Rambut kumal dan badan kusam seperti tak terawat. Pakaian yang tak terurus. Bahkan, alas kakipun tak ada. Lalu salah satu dari mereka bertanya kepada yang lainnya,

“ Apa ada sekolah yang mau menerima kita ? “

***
Previous
Next Post »
0 Komentar